TIMES MOROTAI, PULAU MOROTAI – Kabupaten Pulau Morotai memiliki sektor perikanan yang sangat menjanjikan karena memiliki kekayaan sumber daya ikan yang melimpah, terutama tuna berkualitas ekspor. Keberadaannya juga ditunjang sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Kawasan Strategi Pariwisata Nasional (KSPN), serta potensi besar untuk hilirisasi industri pengolahan, logistik dan ekspor.
Namun pemerhati perikanan Maluku Utara, Yoppy Juthan, sebagai sorang doktor ahli kelautan dan perikanan menilai eksekutif dan legislatif Pulau Morotai sebagai pengambil kebijakan belum berpihak ke leading sektor perikanan. Padahal untuk hilirisasi industri pengolahan, logistik, dan ekspor, Morotai masih butuh peningkatan teknologi dan infrastruktur demi memaksimalkan potensi besar ini menjadi pusat industri perikanan utama di Indonesia Timur.
"Menurut saya pengambil kebijakan di level eksekutif dan legislatif belum secara serius berpihak ke leading sector perikanan. Lihat saja dari berapa alokasi kantong APBD yang telah dikucurkan untuk mendukung program perikanan? Padahal pemerintah Pusat sangat jelas telah mengalokasi sejumlah anggaran fantastis selama ini," tegas Yoppy Jutan, Selasa (30/12/2025) malam.
Di sisi lain, lanjut kata dosen ilmu perikanan di Unihena Halmahera Utara ini, tarif berlaku justru memberatkan pelaku usaha. Padahal mereka bukan musuh pemerintah, mereka adalah mitra pemerintah yang seharusnya sangat paham bahwa investasi di wilayah remote area seperti Morotai sebagai pulau perbatasan itu, cost operasionalnya tinggi.
Yoppy menambahkan, bahwa komoditi perikanan adalah komoditi yang beresiko tinggi, produknya mudah mengalami kemunduran mutu apabila tidak ditangani secara baik. Sementara infrastruktur di wilayah pulau kecil perbatasan seperti Morotai masih minim di sisi hulu sampai hilir.
"Kemudian produk Tuna sebagai komoditi eksport marketnya adalah negara maju, dimana penentuan harganya dari mereka bukan kita. Jika harga global terganggu otomatis berdampak secara luas hingga turun ke level produsen dalam hal ini nelayan kecil," semburnya.
Untuk itu, lelaki jebolan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya ini mengingatkan, bahwa nilai perputaran uang dari transaksi ikan tuna di level nelayan justru jauh lebih besar jika dibandingkan dengan besaran pungutan yang diterima dari retribusi. Jadi Pemda tidak bisa berbangga dengan angka capaian yang jika dihitung per kiloan terlalu kecil.
Mantan Kepala DKP Pemkab Pulau Morotai menawarkan solusi, seharusnya Pemda Morotai membuat program yang berpihak ke nelayan kecil, karena untuk itulah negara ini ada. Perbaiki sisi hulu supaya kualitas produk di level nelayan semakin membaik agar sejumlah resiko tidak dibebankan ke nelayan kecil, karena mereka adalah ujung tombak, tulang punggung ekspor.
"Berikan kemudahan akses di sisi hilir terutama transportasi. Dulu sebelum Morotai jadi kabupaten, kita masih bisa sekali kirim ikan hingga ratusan ton per trip langsung dari Saminyamau, Morotai, itupun belum ada Tuna, seharusnya saat ini harus semakin membaik," terang Yoppy Juthan.
"Selain itu, Pemda Morotai segera melakukan pengadaan tambahan mesin es, tetapi harus es balok bukan es flake karena produknya ikan tuna. Jauh lebih tahan di palka armada nelayan. Volume ikan tuna tiap tahun meningkat, sedangkan es masih terbatas," pungkasnya mengakhiri.(*).
| Pewarta | : Abdul Halil Husain |
| Editor | : Faizal R Arief |